BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sekitar 37,3 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan,
separo dari total rumah tangga mengonsumsi makanan kurang dari kebutuhan
sehari-hari, lima
juta balita berstatus gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko
terhadap berbagai masalah kurang gizi.
Itulah sebagian gambaran tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang
perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh untuk diatasi. Apalagi Indonesia sudah
terikat dengan kesepakatan global untuk mencapai Millennium Development Goals
(MDG's) dengan mengurangi jumlah penduduk yang miskin dan kelaparan serta
menurunkan angka kematian balita menjadi tinggal separo dari keadaan pada tahun
2000.
Perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa
kualitas sumber daya manusia terbukti sangat menentukan kemajuan dan
keberhasilan pembangunan suatu negara-bangsa. Terbentuknya sumber daya manusia
yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif
ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat esensial adalah
terpenuhinya kebutuhan pangan yang bergizi.
I.2 Tujuan
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kadar ataupun
tingkat pangan yang dapat mempengaruhi gizi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Permintaan pangan yang tumbuh lebih cepat dari produksinya
akan terus berlanjut. Akibatnya, akan terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan
produksi pangan domestik yang makin lebar. Penyebab utama kesenjangan itu
adalah adanya pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi, yaitu 1,49 persen
per tahun, dengan jumlah besar dan penyebaran yang tidak merata.
Dampak lain dari masalah kependudukan ini adalah
meningkatnya kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan air disertai dengan
penurunan kualitas sumber daya tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kapasitas
produksi pangan nasional dapat terhambat pertumbuhannya.
Rendahnya konsumsi pangan atau tidak seimbangnya gizi
makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terganggunya pertumbuhan organ dan
jaringan tubuh, lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit, serta
menurunnya aktivitas dan produktivitas kerja.
Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat
mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan
spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan
sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan
demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu pangan dengan jumlah dan mutu yang memadai
harus selalu tersedia dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat.
Bahasan tersebut menggambarkan betapa eratnya kaitan antara gizi masyarakat dan
pembangunan pertanian. Keterkaitan tersebut secara lebih jelas dirumuskan dalam
pengertian ketahanan pangan (food security) yaitu tersedianya pangan dalam
jumlah dan mutu yang memadai dan dapat dijangkau oleh semua orang untuk hidup
sehat, aktif, dan produktif.
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan seseorang atau
masyarakat yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan
zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi yang dalam bahasa Inggris
disebut malnutrition, dibagi dalam dua kelompok yaitu masalah gizi-kurang
(under nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition), baik berupa masalah
gizi-makro ataupun gizi-mikro.
Gangguan kesehatan akibat masalah gizi-makro dapat berbentuk
status gizi buruk, gizi kurang, atau gizi lebih. Sedang gangguan kesehatan
akibat masalah gizi mikro hanya dikenal sebutan dalam bentuk gizi kurang zat
gizi mikro tertentu, seperti kurang zat besi, kurang zat yodium, dan kurang
vitamin A.
Masalah gizi makro, terutama masalah kurang energi dan
protein (KEP), telah mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan
tahun. Pada tahun 1980-an data dari lapangan di banyak negara menunjukkan bahwa
masalah gizi utama bukan kurang protein, tetapi lebih banyak karena kurang
energi atau kombinasi kurang energi dan protein. Bayi sampai anak berusia lima tahun, yang lazim
disebut balita, dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan
terhadap kekurangan gizi termasuk KEP.
Berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang
pada balita telah berhasil diturunkan dari 35,57 persen tahun 1992 menjadi
24,66 persen pada tahun 2000.
Namun, terdapat kecenderung peningkatan kembali prevalensi
pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu, jika melihat pertumbuhan jumlah
penduduk dan proporsi balita pada dari tahun ke tahun, sebenarnya jumiah balita
penderita gizi buruk dan kurang cenderung meningkat.
Kronisnya masalah gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia
ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting
<-2 SD). Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia
diklasifikasikan pendek. Tingginya prevalensi gizi buruk dan kurang pada
balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk
sekolah. Pada tahun 1994 prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia
6-9 tahun adalah 39,8 persen dan hanya berkurang sebanyak 3,7 persen, yaitu
menjadi 36,1 persen pada tahun 1999. Masalah gizi lainnya yang cukup penting
adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang vitamin A, kurang yodium, dan
kurang zat besi. Meskipun berdasarkan hasil survei nasional tahun 1992
Indonesia dinyatakan telah bebas dari xerophthalmia, masih 50 persen dari
balita mempunyai serum retinol.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebab Utama Masalah Gizi
Terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah
gizi khususnya gizi buruk atau kurang, yaitu intake zat gizi yang bersumber
dari makanan dan infeksi penyakit . Kedua faktor yang saling mempengaruhi
tersebut terkait dengan berbagai fakto penyebab tidak langsung yaitu ketahanan
dan keamanan pangan, perilaku gizi, kesehatan badan dan sanitasi lingkungan.
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya
peningkatan status gizi masyarakat yang paling erat kaitannya dengan
pembangunan pertanian. Situasi produksi pangan dalam negeri serta ekspor dan
impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya akan
mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di tingkat wilayah. Sementara ketahanan
pangan pada tingkat rumahtangga, akan ditentukan pula oleh daya daya beli
masyarakat terhadap pangan
ketahanan pangan sebagai isu penting dalam pembangunan
pertanian menuntut kemampuan masyarakat dalam menyediakan kebutuhan pangan yang
diperlukan secara sustainable (ketersediaan pangan) dan juga menuntut kondisi
yang memudahkan masyarakat memperolehnya dengan harga yang terjangkau khususnya
bagi masyarakat lapisan bawah (sesuai daya beli masyarakat).
Menyeimbangkan antara ketersediaan pangan dan sesuai dengan
daya beli masyarakat dengan meminimalkan ketergantungan akan impor menjadi hal
yang cukup sulit dilaksanakan saat ini. Pada kenyataannya, beberapa produk
pangan penting seperti beras dan gula, produksi dalam negeri dirasa masih kalah
dengan produk impor karena tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat kita.
Kebijakan yang ada pun tidak memberi kondisi yang kondusif
bagi petani sebagai produsen, untuk dapat meningkatkan produktivitasnya maupun
mengembangkan diversifikasi pertanian guna mengembangkan keragaman pangan.
Perkembangan Konsumsi Pangan
Intake zat gizi yang berasal dari makanan yang dikonsumsi
seseorang merupakan salah satu penyebab langsung dari timbulnya masalah gizi.
Rata-rata konsumsi energi penduduk Indonesia tahun 2002 adalah sekitar 202
kkal/kap/hari yang berarti sekitar 90.4 persen dari kecukupan yang dianjurkan.
Sementara rata-rata konsumsi protein sekitar 54,4 telah melebih kecukupan
protein yang dianjurkan baru mencapai 90,4 persendari kecukupan gizi yang
dianjurkan sebesar 2200 kkal/hari.
Selain masih rendahnya tingkat konsumsi energi, data pada
Tabel 1 menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan penduduk belum memenuhi kaidah
gizi baik dari segi kualitas maupun keragamannnya, dimana masih terjadi:
(1) kelebihan padi-padian;
(2) sangat kekurangan pangan hewani; dan
(3) kurang umbi-umbian, sayur dan buah, kacang-kacangan,
minyak dan lemak, buah/biji berminyak serta gula. Kondisi tersebut mencerminkan
tingginya ketergantungan konsumsi pangan penduduk pada padi-padian terutama
beras.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil dan pembahasan
diatas adalah sebagaii berikut :
1. Kekurangan pangan dapat mempengaruhi kadar gizi suatu
daerah seperti halnya gizi buruk, busung lapar dan lain – lain,