Arti Strategis Neraca Bahan Makanan
Regional
Stomach cannot wait, merupakan ungkapan yang tepat mengenai
begitu pentingnya arti dan kedudukan pangan dalam segala aspek kehidupan
manusia. Konsekuensinya, ketersediaan pangan mutlak diperlukan setiap saat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan
berimbang, baik secara kuantitas maupun kualitas, merupakan fondasi yang sangat
penting dalam pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Kekurangan pangan
berpotensi memicu keresahan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan
ekonomi.
Besarnya persediaan pangan suatu daerah, baik yang berasal
dari produksi domestik maupun impor, adalah satu ukuran yang mencerminkan cukup
tidaknya suplai pangan di daerah yang bersangkutan. Pertanyaan yang cukup
mendasar selama ini adalah, apakah kecukupan tersebut mampu memenuhi kebutuhan
gizi seluruh penduduk sesuai dengan standar yang dianjurkan?
Untuk menjawab hal itu diperlukan suatu alat untuk menilai
tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah, baik negara, provinsi atau
kabupaten, dalam kurun waktu tertentu. Salah satu alat yang lazim digunakan
adalah Neraca Bahan Makanan (NBM) yang dalam bahasa asing disebut Food Balance
Sheet.
NBM adalah suatu tabel yang terdiri atas kolom-kolom yang
memuat informasi berupa data tentang situasi dan kondisi penyediaan pangan
suatu wilayah, baik negara, provinsi maupun kabupaten, dalam suatu kurun waktu
tertentu. NBM memberikan gambaran tentang jumlah dan jenis pangan yang tersedia
untuk dikonsumsi langsung oleh penduduk, dalam bentuk fisik (kg per kapita per
tahun atau gram per kapita per hari), maupun dalam bentuk zat gizi (energi,
protein dan lemak) per kapita per hari.
Berdasarkan metoda yang disepakati Badan Pusat Statistik dan
Departemen Pertanian, total bahan makanan yang tersedia untuk dikonsumsi
langsung oleh penduduk terdiri dari: jumlah yang diproduksi dalam wilayah
bersangkutan ditambah dengan jumlah yang di impor/ dimasukkan, ditambah stok;
dikurangi jumlah yang diekspor/dikeluarkan untuk bibit/benih, makanan ternak,
bahan baku
industri pangan dan nonpangan, serta jumlah penyusutan/ pemborosan/tercecer.
NBM dapat digunakan sebagai salah satu alat perencanaan
makro di bidang pangan dan gizi, karena memberikan informasi untuk:
(1) menilai apakah ketersediaan pangan yang
ada (energi dan protein) telah mencukupi, bila dibandingkan dengan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan;
(2) melihat
jenis-jenis pangan yang dominan diproduksi maupun dikonsumsi di suatu daerah,
(3)
mengetahui ketergantungan wilayah terhadap jenis-jenis pangan impor baik dari
luar negeri maupun luar daerah.
Penyusunan NBM secara global di berbagai negara dimulai pada
masa Perang Dunia Kedua, karena negara-negara yang terlibat dalam perang mengalami
krisis pangan yang harus diatasi dengan segera. Pada tahun 1946 Organisasi
Pangan dan Pertanian Dunia, yaitu Food and Agriculture Organization (FAO)
memelopori penyusunan metoda NBM untuk menyusun neraca pangan di 70 negara
anggotanya.
Di Indonesia, NBM mulai disusun pada tahun 1963 oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) untuk keperluan intern, dengan bantuan tenaga ahli dari
FAO. Pada saat itu NBM yang diterbitkan untuk masa tiga tahunan, baru pada
tahun 1968 NBM mulai disusun setiap tahun.
Melihat begitu pentingnya penyusunan NBM ini, sejak tahun
1975 pemerintah membentuk Tim NBM nasional yang beranggotakan unsur-unsur dari
Departemen Pertanian, BPS dan instansi terkait, yang menyusun Buku Pedoman
Penyusunan NBM, serta menyajikan NBM sejak Pelita I sampai sekarang. Untuk
keperluan regional sejak tahun 1979 melalui koordinasi Kepala Kantor Wilayah
Departemen Pertanian di tingkat provinsi dibentuk Tim NBM beranggotakan
instansi terkait dan menyusun NBM tahunan untuk tingkat provinsi.
NBM Regional
Menyadari pentingnya NBM, sejak tahun 1968 sampai sekarang,
Tim NBM Nasional secara teratur menyusun dan menyajikan data statistik
penyediaan pangan ini. Di tingkat provinsi, hingga tahun 1998 NBM Regional ini
sudah dilaksanakan oleh 27 provinsi, tetapi dengan perubahan sistem
pemerintahan otonomi daerah penyusunan NBM Regional di beberapa provinsi tidak
lagi dilanjutkan.
Sampai saat ini NBM merupakan satu-satunya metode yang dapat
menggambarkan situasi ketersediaan pangan sampai ke tingkat konsumen, walaupun
datanya bersifat makro. Dalam penyusunan NBM ditemui beberapa permasalahan yang
perlu dilakukan penyempurnaan, antara lain:
(1) angka
konversi atau besaran-besaran dari hasil studi atau konsensus yang sudah
terlalu lama sehingga perlu ditinjau dan diperbaharui kembali.
(2) data
pergerakan pangan keluar/masuk antar wilayah sulit diperoleh karena tidak
berfungsinya jembatan timbang di daerah perbatasan antar wilayah yang memonitor
keluar masuknya pangan, sehingga perlu dicari metode pemantauan yang lebih
sesuai dengan kondisi saat ini;
(3) data
penggunaan masing-masing jenis pangan untuk industri tidak tersedia dengan
baik, untuk itu kajian yang memanfaatkan tabel Input-output, diharapkan dapat
memberikan informasi yang lebih akurat dalam menyusun NBM; dan
(4) Selama
ini NBM yang disajikan selalu terlambat, pada tahun 2003 disusun NBM tahun 2001
(tetap) dan 2002 (sementara), untuk itu perlu disusun NBM 2003 (prediksi).
Perwujudan ketahanan pangan pada era otonomi daerah saat ini
merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Dalam kaitan itu NBM-Regional, yang memuat informasi penting tentang situasi
ketersediaan pangan di wilayah, mempunyai arti yang sangat strategis. Informasi
yang dikandung dalam NBM berguna sebagai dasar perumusan kebijakan pembangunan
ketahanan pangan yang sesuai dengan kondisi setempat. Sayangnya, sejak otonomi
daerah berlangsung hanya sebagian kecil provinsi yang menyusun NBM karena
berbagai alasan. Karena arti penyusunan NBM tersebut perlu digiatkan kembali
baik di tingkat provinsi bahkan tingkat kabupaten/kota.
No comments:
Post a Comment